Manajemen Waktu

6 Dimensi Berpikir, 1 Kemudi Menuju Kesuksesan

6 Dimensi Berpikir, 1 Kemudi Menuju Kesuksesan – Pikiran membentuk keyakinan, keyakinan membentuk sikap. Sikap memengaruhi tindakan, dan tindakan yang berulang menjadi kebiasaan. Kebiasaan inilah yang membentuk karakter, dan karakter menentukan takdir. Begitulah cara pikiran bekerja dalam perjalanan menuju pertumbuhan.

Tapi sebenarnya, apa itu pikiran? Apakah pikiran itu sesuatu yang nyata? Apa yang membentuk pikiran? Dan apa yang bukan termasuk pikiran?

Rata-rata manusia memiliki sekitar 50.000 pikiran dalam sehari. Dari pengamatan ini, saya menyimpulkan bahwa ada 6 dimensi dalam berpikir dan setidaknya 1 cara untuk mengarahkan pikiran agar takdir yang kita inginkan bisa kita wujudkan sendiri.

Mungkin ini kabar baik bagi kalian yang pusing dengan teori 26 (atau 23?) dimensi dalam fisika kuantum. Lupakan itu sejenak! Mari kita bahas 6 dimensi berpikir yang lebih mudah dipahami.

6 Dimensi Berpikir

Dimensi-dimensi ini terbagi dalam 3 pasangan, yaitu:

1. Dua Kutub Pikiran:
– Positif
– Negatif

2. Dua Kualitas Pikiran:
– Benar
– Salah

3. Dua Jenis Pikiran:
– Pertanyaan
– Pernyataan

Saya menyebutnya dimensi, bukan sekadar jenis atau kualitas, karena elemen-elemen ini membentuk suatu pikiran dan bisa saling beririsan. Misalnya, ada pertanyaan negatif yang salah, seperti *“Kenapa saya selalu gagal dalam segala hal?”* Atau pernyataan positif yang salah, seperti *“Saya adalah orang paling kaya di dunia”* (padahal orang tersebut pengangguran dan hidupnya berantakan).

1. Kutub Pikiran (Positif vs. Negatif)

Kutub pikiran menentukan apakah suatu pikiran bermanfaat dan berguna dalam situasi tertentu. Misalnya, seorang dokter bedah yang sedang melakukan operasi otak tidak boleh terpaku pada pikiran seperti *“Tangan saya gemetar. Saya gugup.”* Itu adalah pikiran negatif yang tidak berguna. Sebaliknya, dia perlu berpikir *“Tangan saya stabil. Saya tahu di mana harus melakukan sayatan.”*

2. Kualitas Pikiran (Benar vs. Salah)

Kualitas pikiran berkaitan dengan apakah suatu pikiran sesuai dengan realitas atau tidak. Meski ada banyak teori filsafat yang menyangkal realitas objektif, saya percaya bahwa kenyataan tetap ada dan penting untuk dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Ada beberapa cara menilai apakah suatu pikiran benar atau salah:

– Fakta – Kebenaran yang sudah terbukti dan tidak berubah, misalnya *“Segitiga selalu punya tiga sisi.”*
– Opini – Keyakinan yang bisa berubah seiring dengan pengalaman dan bukti baru.
– Persepsi – Pandangan seseorang terhadap suatu hal berdasarkan pengalaman pribadinya. Misalnya, sebelum gravitasi ditemukan, orang hanya menganggap bahwa benda memang selalu jatuh tanpa tahu penyebabnya.

3. Jenis Pikiran (Pertanyaan vs. Pernyataan)

Jenis pikiran ini menunjukkan bentuk dari pikiran kita.

– Pertanyaan seperti kata kunci yang kita ketik di Google. Kita mencari jawaban atau kebenaran yang bisa kita terima atau tolak.
– Pernyataan adalah kesimpulan yang kita anggap sebagai kebenaran.

Sebagai contoh:

– Pernyataan benar: *“Benda jatuh ke tanah karena gravitasi.”*
– Pernyataan salah: *“Gravitasi tidak ada.”* (Ini jelas membahayakan jika seseorang benar-benar percaya dan bertindak berdasarkan keyakinan ini.)

Mengendalikan Pikiran: Keseimbangan Antara Kebenaran dan Harapan Positif

Dalam berpikir, saya percaya bahwa kebenaran lebih penting daripada sekadar berpikir positif. Saya lebih memilih realitas daripada ilusi, tetapi juga lebih suka kemungkinan daripada pesimisme.

Caranya? Mulailah dengan bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan yang benar, objektif, konstruktif, dan sesuai realitas.

Mengajukan pertanyaan yang tepat jauh lebih berharga dibanding sekadar mengulang-ulang afirmasi positif. Justru kebiasaan bertanya dengan cara yang benar inilah yang membantu para tahanan perang dan korban kamp konsentrasi bertahan hidup—bukan hanya optimisme kosong.

Bertanya dengan cara yang benar bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dari nol. Sebenarnya, kita semua sudah memiliki kemampuan ini, hanya saja sejak kecil kita terbiasa diperingatkan untuk tidak bertanya terlalu banyak kepada guru atau orang tua.

Maka, mulailah bertanya dengan tujuan menemukan kebenaran sekaligus mencari cara terbaik untuk mengubah situasi menjadi lebih baik. Dengan begitu, kita bisa mengendalikan kemudi hidup kita sendiri dan menuju kesuksesan yang kita inginkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *